Bayar Utang atau Bersedekah, Mana yang Harus Didahulukan?
Hijaz.web.id - Keadaan ekonomi seadanya adalah salah satu cobaan, kadang sulit dan hidup serba terbatas. Keadaan tersebut memaksa kita untuk mencukupi kekurangan dengan meminjam uang atau berhutang. Hidup di zaman sekarang membuat perilaku berhutang seperti sudah menjadi sebuah tradisi dan kebiasaan.
Rasulullah pun bermohon kepada Allah agar dijauhkan dari terjebak di dalamnya. Bagi kita berhutang begitu nikmatnya, tetapi sesungguhnya disela uang-uang itu terselip tanggungjawab besar untuk bisa melunasinya. Wajib bagi setiap yang berhutang mengembalikan sejumlah utangannya.
Bahkan perkara utang, Allah sampai ancam dengan siksaan yang pedih orang-orang yang wafat dengan masih membawa sisa utang yang belum terbayarakan. Bahkan pada sebuah riwayat diterangkan, bahwa jiwa seorang muslim masih bergantung bersama utangnya hingga ia melunasinya.
Pada sisi yang berbeda, ada hasrat di dalam hati manusia untuk bisa membagi sebagian hartanya kepada orang lain. Menyedekahkan sebagian uangnya kepada yang sekiranya memerlukan. Maka kemudian, bila ada sejumlah uang pada kita, mana yang lebih penting diutamakan, menyedekahkannya atau melunasi utang-utang?
Menjawab pertanyaan ini sebaiknya lebih dulu kita mengacu pada dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 261, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Melihat kandungan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa sedekah merupakan sebuah anjuran bagi setiap muslim sebagai bagian dari amal kebaikan yang pahalanya dijanjikan berlipat ganda. Allah akan membalas pahala sedekah bukan hanya kelak di akhirat, tetapi juga semasa di dunia.
Dalam sebuah riwayat Ibnu Majah, “Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.”
Pada riwayat yang berbeda, Imam Tirmidzi menerangkan, “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.”
Berdasar pada dalil-dalil yang menerangkan perihal utang, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa melunasi utang merupakan sebuah perkara wajib bagi setiap muslim.
Melihat dua perkara yang berbeda kedudukan hukumnya ini, maka hendaknya kita kembali menengok bagaimana Rasulullah mengajarkan bila seorang manusia dihadapkan pada perkara sunnah dan wajib.
Pada sebuah riwayat beliau menjelaskan, “bahwa hendaklah seseorang memulai dengan amalan wajib terlebih dahulu barulah kemudian amalan sunnah. Dalam perihal ini maka lebih mendahulukan membayar hutang barulah kemudian bersedekah".
Pada ulama berbeda pandangan terkait dengan ini. Meski begitu, kedudukan wajib memang lebih utama harus didahulukan daripada perkara yang sunnah. Sebab bila yang wajib ditinggalkan atau belum sempat dikerjakan, kelak akan tercatat sebagai amal keburukan. Tercatat sebagai tumpukan dosa-dosa. Tetapi bila yang sunnah gagal dikerjakan, ianya tidak tercatat sebagai dosa, hanya kita yang gagal menambah bekal-bekal kebaikan.
Maka sebaiknya utamakan membayar dan melunasi utang-utang. Bila memungkinkan tidak menjadi persoalan melakukan keduanya bersamaan. Tetapi bila kondisi keuangan tidak memungkinkan, dahulukanlah membayar utang.
Allahu A'lam Bishawab
sumber: Hijaz (hijaz.web.id)