![]() | |
|
Dewata SeuwaE / DewataE (Tuhan Yang Maha Esa) mempunyai Gelar PatotoE (Yang Menentukan Takdir). Esensi kosa-kosa kata sakral tersebut jelas merupakan penekanan pada makna Yang Maha Segala-galanya.
Namun pada tahun 1966, pemerintah tidak menerima hal itu karena hanya mengakui lima agama, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha.
Akibatnya, pemerintah memberi tiga pilihan ke warga Tolotang, karena hanya tiga agama yang menurut mereka dekat dengan kepercayaan Tolotang, yakni Islam, Kristen, dan Hindu.
Aturan itulah yang akhirnya membuat komunitas Tolotang takluk. Mereka akhirnya memilih sebagai ‘orang Hindu’, mereka terpaksa beragama Hindu di KTP mereka. Meski kegiatan keagamaan mereka jauh berbeda dengan agama Hindu.
Lantas mengapa memilih memeluk Hindu? menurut Wa Sunarto, salah seorang Tokoh Tolotang mengatakan, alasannya sederhana, diantara semua agama yang ditawarkan pemerintah, Hindu-lah yang punya kesamaan dan kemiripan, termasuk soal prinsip.
“Hindu bisa memahami kami dan begitu juga sebaliknya,” katanya.
To Lotang atau To Wani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo.
Dimana To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (dalam bahasa Bugis yang berarti orang), dan kata Lotang (dalam bahasa Bugis Sidrap, dengan ucapan Lautang, yakni berarti Selatan – dari arah Lautan).
Bagi sebagian orang, ketika mendengar komunitas Tolotang disebut, mungkin akan berpikir tentang sebuah kampung pedalaman yang orang-orang di dalamnya begitu tertinggal. Namun justru sebaliknya, komunitas ini berada dekat di ibukota kecamatan.
Dari ibukota kabupaten, Pangkajene, Amparita hanya berjarak sekira 8 km. Jarak tempuh dengan kendaraan roda dua ataupun empat paling lama setengah jam. Sementara dari Kota Makassar, Amparita hanya berjarak 231 km.
Salah seorang Tokoh Tolotang, Wa Eja, kepada penulis 7 Maret 2008 di gedung DPRD Sidrap mengatakan, komunitas Tolotang masuk di Sidrap berasal dari Wajo. Towani itu nama sebuah kampung atau desa di Wajo. Yang membawa adalah Ipabbere, seorang perempuan.
Ia meninggal ratusan tahun lalu dan dimakamkan di Perinyameng, sebuah daerah di sebelah barat Amparita. Makam Ipabbere inilah yang kemudian selalu dikunjungi dan ditempati untuk acara tahunan komunitas ini yang selalu ramai.
Acara adat tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Januari itu juga merupakan pesan dari Ipabbere. “Kami selalu membuat acara tahunan di Perinyameng. Sebab orangtua yang dikuburkan di situ, memang berpesan ke anak cucunya bahwa jika kelak ia meninggal, kuburnya harus diziarahi sekali setahun. Makanya, seluruh warga komunitas berdatangan dari segala penjuru, mulai dari Jakarta, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan hanya yang cacat dan anak-anak saja yang tak hadir setiap Januari itu," terang Wa Eja.
Terkait sejarah Wa Eja mengatakan, komunitas ini ada di sana jauh sebelum Islam masuk. Waktunya sekira abad ke-16. Hanya saja tidak berkembang seperti sekarang.
“Jadi kalau dikatakan Tolotang ini baru, itu pendapat keliru. Sebab menurut kami jauh sebelum abad ke-16 sudah ada,” jelasnya.
Namun menurutnya, karena sebuah proses sejarah, Tolotang kemudian harus berpindah. Masuknya Islam di Wajo rupanya tidak bisa memberi ruang yang bebas untuk berkembangnya bagi Tolotang.
“Makanya beralih ke Amparita. Itu sekira abad 17,” beber Wa Eja.
Sejak itu, Tolotang berkembang dan diayomi pemerintahan Sidenreng. Terjadi hubungan yang baik antara warga Tolotang dengan warga komunitas lain. Hingga saat ini, di semua kecamatan di Sidrap anggota komunitas ini pasti ada.
“Bukan di Amparita saja. KomunitasTolotang juga ada di Maritengngae, Tellu Limpoe, Wattangpulu, Sidenreng, Dua Pitue, serta Dua Pitue Lama. Hanya saja, basis utamanya memang di Tellu Limpoe. Tokoh adatnya juga banyak dan menyebar di seluruh kecamatan,”
kata Wa Eja.
(ditulis dari berbagai sumber)